Sabtu, 04 April 2009

KESEJAHTERAAN ALA PEMILU; AHISTORIS DAN LEMAH KONSEP

Terdapat begitu banyak harapan dan tanggapan terkait dengan pesta demokrasi pada tahun ini. Mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera menjadi harapan dan tujuan utama dari penyelenggaraan pemilu kali ini. Hal ini juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya dimana selalu membawa nuansa indah dan meyakinkan bagi masyarakat yang telah dan sedang terkungkung dalam kemiskinan sekian lama.

Optimisme terhadap terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan dari penyelenggaraan pemilu begitu deras diluncurkan oleh para praktisi politik dan akademisi pro demokrasi dan pemilu. Keyakinan akan pengeruh positif pemilu terhadap kesejahteraan mungkin sudah begitu dalam menghujam dalam hati dan otak mereka, selain tentu saja karena konsekuensi logis atas dukungan mereka terhadap demokrasi. Karena tidak akan pernah ada demokrasi tanpa pemilu.

Tidak menjadi masalah sebenarnya, karena hal itu adalah hak tiap-tiap individu. Yang menjadi masalah utama adalah kebenaran asumsi dan prediksi mereka akan kaitan yang erat dan sejajar antara kesejahteraan dengan pemilu dan demokrasi.

Asumsi bahwa pemilu dan demokrasi perpengaruh postitif terhadap kesejahteraan perlu dikaji dan dipertanyakan kembali. Belajar dari fakta-fakta terdahulu tentang pemilu dan demokrasi, apabila memang terdapat hubungan yang erat maka dapat dipastikan tidak akan ada lagi manusia-manusia miskin dan terbelakang hingga saat ini, atau setidaknya tidak terdapat jumlah yang berarti. Namun tidaklah demikian pada kenyataannya, pendidikan kita masih semrawut dan konyol, orang miskin masih begitu banyak, busung lapar dan kurng gizi masih menjadi topik-topik berita berhari-hari, makin terbuktinya jargon ‘orang kaya dilarang sakit, tingkat kriminalitas yang makin meninggi, kehidupan dan gaya hidup remaja yang makin tidak beres dan lain sebagainya yang menunjukan bahwa kehidupan saat ini masih sama dengan tahun-tahun lalu, bahkan mungkin lebih buruk.

Maka sebenarnya, jelaslah bahwa tidak ada hubungan sejajar sama sekali antara pemilu, demokrasi dan kesejahteraan, yang ada malah sebaliknya. Dan tentu saja hal yang sama berlaku pada pemilu yang akan kita laksanakan pada tahun ini. Dari sisi bisa dikatakan bahwa harapan dari para pendukung demokrasi adalah ahistoris.

Kemudian apabila ditinjau dari segi konsepsi, maka pemilu dan demokrasi juga berada pada posisi yang sama. Artinya tidak ada relevansi antara keberhasilan pemilu dan demokrasi dengan kesejahteraan. Pemilu hanyalah sekedar mekanisme pemilihan wakil rakyat dan presiden. Terpilihnya mereka hanya menandakan suksesnya penyelenggaraan pemilu saja, tidak lebih. Sehingga tidak berarti tercapainya juga kesejahteraan secara beriringan.

Andai saja ada hubungan yang sejajar tentu dengan terpilihnya wakil rakyat dan presiden maka seketika itu pula kesejahteraan terwujud. Namun hal itu sama sekali tidak terjadi, dan tidak akan pernah terjadi, dan semua masih tetap sama, tetap menderita. Kesimpulannya adalah bahwa pemilu dan demokrasi bukan kunci yang tepat untuk kesejahteraan, bahkan malah sebaliknya, pemilu dan demokrasi semakin menjauhkan kesejahteraan dari masyarakat. Maka dari penjelasan ini, pemilu dan demokrasi tidak mempunyai konsepsi yang mantap.

Jadi, dari tinjauan histories dan konsepsi pemilu dan demokrasi tidak mempunyai hubungan dengan kesejahteraan, bahkan mungkin sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar