Kamis, 02 April 2009

PASPOR, APARTHEID, DAN DOSA NASIONALISME

Pahlawan kaum kulit hitam, Mr Nelson Mandela, telah berjuang begitu gigih dan pantang menyerah untuk menghilangkan politik apartheid yang konyol dan tak berdasar. Masa orang berbeda drajat dan harga dirinya hanya karena warna kulit? Namun itulah kenyataannya, pandangan bodoh dan sangat konyol yang muncul dari komunitas yang menganggap dirinya lebih berperadaban.

Namun untuk saat ini saya yakin, apartheid sudah tidak ada, atau setidaknya sudah jauh jauh berkurang sehingga tentu saja kondisi menjadi lebih baik dan terlihat lebih ‘beradab’. Obama sang Presiden U.S.A. mungkin bias menjadi parameternya, walaupun tentu saja masih ada sebagian yang keukeuh dengan kekonyolannya.

Di Negara kita tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak berlaku konsepsi apartheid sama sekali, -mungkin, sejauh yang saya rasakan, karena saya berkulit agak hitem dan diperlakukan istimewa- sebagaimana orang-orang hukum bilang bahwa semua masyarakat sama dihadapan hukum. Bagi Negara yang katannya tidak lebih berperadaban dari orang-orang negeri barat pioneer apartheid, hal ini terasa begitu membanggakan dan menyenangkan.

Namun dibalik itu semua, sadarkah kita bahwa ternyata betapa tidak jauh berbedanya kita dengan orang-orang barat tempo dulu d pendukung apartheid, bahkan mungkin jauh lebih parah dan lebih tidak beradab dari para mantan musuh nelson Mandela yang paling tidak beradab. Konsepsi aprartheid di barat mungkin terlihat sedikit berdasar karena memang pada kenyetaannya terdapat perbedaan yang benar-benar beda. Yang satu hitam, yang satu putih, yang satu terlihat lebih terang, yang lainny terlihat lebih gelap. Jadi ada alas an yang lebih kuat bagi mereka untuk saling membeda-bedakan dibandingkan jika hal itu terjadi di negeri kita, walaupun tentu saja tetap tidak benar.

Saya hanya mencoba menggambarkan, bahwa membeda-bedakan manusia dalam komunitas yang di dalamnya sudah jelas terdapat perbedaan, taruhlah perbedaan warna kulit, sudah dikatakan benar-benar biadab, apalagi membeda-bedakan manusia dalam komunitas yang sama, atau setidaknya hamper serupa maka akan terlihat sangat biadab dari yang paling biadab.

Untuk memperjelas maksud saya, misalnya seperti ini, orang Indonesia dan Malaysia tinggal serumpun. Gaya bahasa, warna kulit, warna rambut, warna mata, ukuran hidung, budaya, agama, dsb. Semuannya hamper sama. Katakanlah Indonesia dan Malaysia dari segi masyarakatnya sama dengan sedikit beda, dan pada kenyataannya memang seperti itu. Maka , menurut saya, samasekali tidak wajar apabila masyarakat diantara dua Negara ini dibeda-bedakan harkat, derajat, dan martabatnya. Bahkan jika kita melihat dari segi agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan Malaysia sebagian besar adalah muslim. Dan sesame muslim adalah bersaudara, tidak ada yang mempunyai derajat yang lebih tinggi dari yang lain, kecuali karena ketakwaannya. Sehingga jika ada perbedaan diantara keduannya maka saya katakan tidak beradab, sungguh!

Namun alangkah mirisnya kenyataan ini, tahukah kita betapa hinannya orang-orang Indonesia yang menjadi TKI di Malaysia yang dating dengan illegal tanpa surat ijin semacam paspor? Mereka diperlakukan hina, bahkan jauh lebih hina dari para petugas imigrasi yang juga melayu hanya karena lembaran-lembaran tipis yang disebut paspor.

Sungguh saya tidak rela, lembaran-lembaran buatan manusia yang bahkan nilainnya jauh jauh jauh lebih rendah dari manusia yang paling rendah menjadi penentu tinggi rendahnya derajat seseorang, serta menjadi penentu beradab tidaknya perlakuan terhadapnya.

Saya yakin ada yang salah dengan kondisi ini. Dan saya rasa konsep nasionalisme yang mewujud pada bentuk Negara bangsa-lah yang menjadi akar masalahnya. Paham Negara bangsa yang berbasis pada kewilayahan menciptakan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur tertentu yang konyol dan egois. Bagaimana bias hanya karena batas wilayah manusia mendapat perlakuan yang berbeda.

Maka saya berpendapat bahwa nasionalisme adalah konsep usang, konsep sempit ala jahiliah yang tidak manusiawi. Masyarakat selluruh dunia seharusnya disatukan dengan persatuan yang hakiki, persatuan yang tidak membeda-bedakan, persatuan penebar keadilan, yang berada pada naungan kepemimpinan superpower yang bersaharja, jauh dari keegoisan

No paspor, no bad treatment, no apartheid, and no NASIONALISM! Wishing the better live by unifying the nations under the wisest leadership!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar